LIFE IS

All my yesterdays have brought me to this day, and all my tomorrows begin with now

Saturday, May 21, 2011

Pergumulan Iman (1 Samuel 21:1-15)

Kisah ini berkaitan dengan hubungan raja Saul dengan Daud yang semakin memburuk. Setelah Saul ditolak sebagai raja oleh TUHAN karena ketidaktaatannya pada perintah TUHAN, maka sejak itulah Saul dihinggapi oleh roh jahat yang daripada TUHAN, artinya roh jahat itu dibiarkan oleh TUHAN untuk mengganggu Saul. Untuk menenangkan roh jahat tersebut maka dipanggillah Daud untuk memainkan kecapi, dan hasilnya memuaskan, sehingga raja Saul pun sangat mengasihi Daud. Ketika Daud mengalahkan Goliat, bangsa Filistin itu, raja Saul pun bersukacita dan bahkan rela memberikan anaknya perempuan menjadi isteri Daud, yaitu Mikhal, sebagai hadiah atas kemenangan Daud itu. Tetapi, masalah mulai muncul ketika perempuan-perempuan dari segala kota Israel menari dan menyanyikan lagu kemenangan sbb: “Saul mengalahkan beribu-ribu musuh, tetapi Daud berlaksa-laksa” (1 Sam. 18:7). Nyanyian kemenangan ini melahirkan kecemburuan di hati Saul terhadap Daud, kemudian kecemburuan ini berubah menjadi amarah dan kedengkian yang luar biasa (1 Sam. 18:8-9). Lalu Saul melampiaskan kecemburuan, amarah dan kedengkiannya ini dengan berupaya membunuh Daud, dan dia telah mencoba beberapa kali, tetapi tidak pernah berhasil. Setelah Daud mengetahui bahwa Saul sudah memutuskan untuk membunuhnya maka Daud pun melarikan diri untuk menyelamatkan dirinya dari ancaman pembunuhan raja Saul. Nas khotbah hari ini merupakan saat-saat awal di mana Daud menjadi buronan atau DPO (Daftar Pencarian Orang) raja Saul.

Pelarian Daud tentu sangat menyakitkan. Dia melarikan diri karena hendak dibunuh tanpa alasan yang jelas. Dia harus melarikan diri walaupun tidak bersalah kepada raja Saul. Orang yang tadinya berjasa bagi bangsa Israel kini harus melarikan diri dari ancaman pembunuhan Saul yang adalah ayah mertuanya sendiri. Orang yang tadinya menjadi pahlawan bagi Saul sendiri dan bangsa Israel kini menjadi buronan pemerintah, dalam hal ini raja Saul. Akibatnya, Daud pun harus berpisah dari isterinya; dia harus meninggalkan pekerjaannya sebagai pegawai raja Saul; dia harus berpisah dari sahabat karibnya Yonatan; dia harus meninggalkan ayah dan saudara-saudaranya; dia harus meninggalkan kambing domba yang biasa dia gembalakan; dia harus meningglkan kampung halamannya dan semua orang yang dikasihi maupun yang mengasihi dia. Sangat menyakitkan, apalagi kepergiannya, perpisahan itu karena keterpaksaan “diusir dengan paksa, diusir tanpa alasan yang jelas”. Betapa menyakitkan!
Kita bisa membayangkan bagaimana perasaan-perasaan Daud pada waktu itu; dia pasti tertekan, stress dan bisa jadi depresi. Maka, dalam upaya menyelamatkan diri dan dalam kondisi yang terjepit, Daud pun kehilangan akal sehat. Tekanan hidup yang luar biasa telah “menghilangkan” akal sehatnya, sehingga tanpa takut dia membohongi Ahimelekh, Imam Allah, bahkan di Bait Allah, demi mendapatkan makanan (roti) dan alat perang (pedang); dia juga tanpa malu harus berpuran-pura gila di hadapan raja Akhis, raja orang Filistin dan pegawai-pegawainya, yang sebelumnya pernah dia taklukkan melalui kemenangan atas Goliat. Bahkan di ayat 12 digambarkan bagaimana situasi perasaan Daud pada waktu itu: “… dia menjadi takut sekali …” Tadinya Daud termasuk orang yang sangat jujur, tetapi kini terpaksa berbohong hanya demi makanan dan pedang. Tadinya dia termasuk orang yang sangat percaya dan mengandalkan TUHAN, tetapi kini dia mencari keselamatan dengan cara sendiri, yaitu mengandalkan pedang mantan musuhnya “Goliat”, bahkan mencari perlindungan ke negeri musuhnya itu, bangsa Filistin yang menyembah ilah-ilah lain. Semua ini terjadi pada Daud karena tekanan hidup yang hebat; tinggal di negeri sendiri bahaya mengancam; lari ke negeri orang lain ancaman datang. Pada saat-saat dan situasi yang sangat sulit inilah Daud bergumul luar biasa. Pergumulannya itu terungkap dalam nyanyiannya di Mazmur 56 dan Mazmur 34. Dalam nyanyiannya itu dia menggambarkan dirinya sebagai orang yang diinjak-injak, terimpit, tertindas, gentar, takut, patah hati, sangat malang, dlsbg. Pada akhirnya, sebagaimana terungkap dalam Mazmur 56 dan 34 itu, Daud menyadari bahwa ternyata dia sudah salah arah, dia sudah kehilangan pegangan dan kehilangan harapan (hopeless and helpless); dia sudah lari ke tempat atau ke negeri yang salah dan buruk. Dan melalui pengalaman buruk ini, pengalaman yang menyedihkan dan menyakitkan itu, dia belajar dan mengakui bahwa rupanya “TUHAN itu dekat kepada orang-orang yang patah hati, dan Ia menyelamatkan orang-orang yang remuk jiwanya” (Mzm. 34:19). Tidak dipugkiri bahwa “kemalangan orang benar banyak, tetapi TUHAN melepaskan dia dari semuanya itu” (Mzm. 34:20).
Betapa menyakitkan: yang tadinya sehat kini harus terbaring di RS karena penyakit; yang tadinya datang ke RS hanya untuk chek-up biasa tetapi kini atas anjuran dokter harus menjalani perawatan; yang tadinya merawat pasien, tetapi kini dapat giliran dirawat; yang tadinya biasa mendoakan pasien, tapi kini giliran didoakan karena sakit; betapa menyedihkan harus terpisah dari keluarga, dari orangtua, dari anak-anak, dari pekerjaan, dari kegiatan sehari-hari, karena harus menjalani perawatan, mungkin tiga hari, satu minggu, berbulan-bulan, bahkan ada yang justru pulang ke rumah Bapa.
Dalam kondisi yang kritis, dalam keadaan terjepit, secara manusiawi apa pun bisa jadi dilakukan; jangankan pura-pura gila, gila benaran pun bisa saja terjadi. Pada saat-saat pencobaan, pada saat-saat adanya tekanan, kita biasanya merindukan terjadinya hal-hal yang dahsyat atau pun mukjizat. Dalam situasi yang terjepit, kita kemungkinan mau melakukan apa pun, bahkan sekalipun hal itu salah. Dalam keadaan darurat, segala kemungkinan bisa saja kita lakukan, sekalipun mungkin membahayakan diri kita sendiri. Ketika kita diperhadapkan pada situasi yang sulit, bukan tidak mungkin kita bisa kehilangan pegangan dan harapan. Dalam situasi dan kondisi penyakit yang tidak menentu, kita bisa saja “kecewa” dengan Tuhan, dan mungkin berkata: “apa lagi Tuhan yang Engkau inginkan dariku? Katanya Engkau adalah Allah yang dahsyat, sumber mukjizat, tapi mana ….???”. Bukan tidak mungkin kita bisa saja alergi dengan hal-hal yang berbaur rohani, tidak mau didoakan lagi, selain karena kecewa pada Tuhan, juga karena takut mati (doa bisa mempercepat kematian??!!). Di bawah tekanan, di bawah ancaman, di dalam kesulitan, di dalam penderitaan, di dalam kesesakan, di dalam kekecewaan (patah hati), di dalam kebingungan, dan dalam situasi yang tidak menentu, kita bisa saja menghalalkan segala cara, berbohong, pura-pura gila, tidak mau makan, berontak, pesimis, bahkan menghujat Tuhan pun bisa saja terjadi. Jangankan kita sekarang ini, Daud saja mengalami pergumulan yang luar biasa itu. Tetapi kita melihat, bahwa dalam “kebohongan” dan “kegilaan yang dibuat-buatnya” itu, ternyata TUHAN Allah bisa berkarya, sekali pun secara Alkitabiah apa yang dia lakukan itu tidak dibenarkan. Yang mau ditekankan di sini ialah bahwa seburuk dan separah apapun kondisi dan situasi kita saat ini, Tuhan pasti mampu berkarya; dan melalui pengalaman hidup yang pahit itu kita belajar bahwa Tuhan tidak pernah meninggalkan orang-orang yang takut akan Dia. Belajar kehidupan berarti ingin diajar, dibentuk dan dibimbing oleh Tuhan dalam menjalani manis-pahitnya kehidupan ini. Tuhan pasti membuka jalan terbaik bagi kita. “KUTAHU TUHAN PASTI BUKA JALAN”.
(Pdt. Alokasih Gulo)

No comments:

Post a Comment