LIFE IS

All my yesterdays have brought me to this day, and all my tomorrows begin with now

Saturday, May 21, 2011

Kekayaan: Berbuat untuk Orang Lain (1 Timotius 6:17-19)

Ketika membaca dan merenungkan teks kotbah pada hari ini, saya teringat lagu “benci tapi rindu”. Lagu ini memang mengarah pada ungkapan perasaan seseorang terhadap orang yang dirindukannya sekaligus dibencinya. Dalam pelatihan CPE situasi perasaan yang seperti ini dikenal sebagai “mix-contradictory feelings”. Artinya ada dua perasaan atau lebih dalam diri seseorang yang muncul bersamaan atau hampir bersamaan/beriringan, dan keduanya bertentangan. Perasaan yang seperti inilah yang kadang-kadang muncul dalam hati kita ketika berbicara soal “kekayaan, harta, atau uang”. Perhatikanlah bapak/ibu, dari dulu sampai sekarang “kekayaan, harta atau uang” sering mendapat kritikan/kecaman dari banyak pihak, tidak terkecuali Alkitab sendiri. Tapi, disadari atau tidak, “kekayaan, harta atau uang” juga justru “dikejar-kejar” oleh banyak orang, tidak terkecuali gereja-gereja atau teologi tertentu yang justru memunculkan “teologia sukses/kemakmuran”. Jadi, dalam pengertian tertentu kita memang kadang-kadang membenci kekayaan, harta, atau uang, tapi sekaligus merindukannya juga karena memang begitu penting dalam hidup ini (bahkan ada istilah klasik remaja/pemuda “ada uang abang sayang, tidak ada uang abang melayang”). Kalau begitu, salahkah itu kekayaan, harta atau uang? Atau benarkah keberadaan kekayaan, harta atau uang itu? Bapak, ibu dan sdra/i, teks kotbah hari ini mengingatkan kita bahwa persoalannya bukanlah terletak pada salah atau benar keberadaan kekayaan tersebut, melainkan bagaimana kita menyikapi/memahami dan mempergunakan kekayaan itu sendiri.

Pertama-tama, kita diingatkan oleh Paulus untuk melihat kekayaan, harta atau uang sebagai anugerah dari Allah bagi kita. Segala sesuatu telah diberikan kepada kita oleh Allah, termasuk kekayaan, harta atau uang. Tidaklah salah menjadi kaya, atau memiliki harta/uang yang banyak, sebab justru itu adalah berkat, tetapi kita diingatkan bahwa dengan kekayaan, harta atau uang kita rawan pencobaan. Kita bisa saja berpikir bahwa kekayaan itu adalah milik kita. “Saya sudah bekerja keras untuk mendapatkan kekayaan ini. Saya menghabiskan waktu bertahun-tahun bahkan saya harus sekolah dulu untuk memperoleh kekayaan ini. Lihatlah semua yang kumiliki”. Kita bisa saja mengklaim seperti ini, dan inilah salah satu contoh sikap “tinggi hati” karena kekayaan yang dia miliki, atau karena keberhasilan yang dia raih.
Kita perlu menyadari bahwa paling tidak ada dua sikap/pemahaman yang sering menyesatkan manusia tentang kekayaan/harta/uang ini:
- ada sikap yang memahami bahwa kekayaan/harta/uang merupakan tolok ukur nilai hidup, keberhasilan, atau kelayakan seseorang;
- sikap yang lain adalah sikap yang memahami bahwa kekayaan/harta/uang merupakan jaminan untuk kekuasaan dan rasa aman.
Paulus melalui Timotius, mengingatkan kita, khususnya orang-orang kaya untuk tidak terjebak dalam kedua sikap atau pemahaman yang menyesatkan tadi. Paulus dengan tegas mengatakan bahwa hanya Allah sendirilah yang menentukan masa depan kita, bukan kekayaan, harta atau uang yang dimiliki. Dan ini sudah terbukti bahwa kekayaan, harta atau uang bukanlah segala-galanya dalam hidup ini; berbagai krisis yang kita alami, krisis moneter, krisis ekonomi, dlsbg, telah membuktikan bahwa kekayaan, harta atau uang tidak bisa mengontrol segala sesuatu.
Apabila kita review kembali peristiwa demi peristiwa yang kita alami atau lalui dalam hidup ini, ternyata berbagai tragedi dan masa-masa sulit selalu menggoncangkan pikiran kita. Rencana kita yang terbaik dan harapan kita dapat dihancurkan oleh peristiwa-peristiwa di luar kendali kita sekali pun kita mungkin memiliki kekayaan yang cukup menjanjikan. Kita diingatkan bahwa hanya ada satu sumber rasa aman yang sejati di dunia yang selalu berubah ini. Dengan apresiasi yang baru, kita dapat merenungkan kata-kata Rasul Paulus sebagaimana teks kotbah hari ini. Ketika sumber-sumber kita berkurang, kita dapat bertambah kaya dalam kebajikan, kemurahan hati, dan berbagi dengan sesama. Ketika kondisi keuangan kembali stabil, kita dapat lebih bebas menyimpan apa yang diberikan Allah dan mempercayai Allah sepenuhnya.
Yang kedua, kita diingatkan oleh Paulus untuk melihat kekayaan, harta atau uang sebagai alat untuk berbuat baik, atau melakukan perbuatan-perbuatan yang baik. Yang diminta di sini adalah kebaikan dan kemurahan hati terhadap sesama. Memiliki kekayaan, harta atau uang yang banyak bukanlah dosa, dan menjadi miskin tidak otomatis berarti saleh. Tuhan memberikan kita kekayaan, harta atau uang untuk saling melayani, dan bukan untuk menyalahgunakannya. Jadi, tidaklah salah menjadi kaya, atau memiliki harta dan uang, tapi kita harus siap sedia untuk mempergunakannya dalam kebaikan dan kebajikan, dan kita harus siap sedia untuk bisa memberi dan berbagi dengan hati nurani yang bersih terhadap sesama. Dan itulah yang disebut Paulus pada ayat 19 tadi “mengumpulkan suatu harta sebagai dasar yang baik bagi dirinya di waktu yang akan datang untuk mencapai hidup yang sebenarnya”.
Suatu hari, ada seorang ayah yang kaya mengajak putranya berjalan-jalan. Dia mau menunjukkan kepada putranya betapa miskinnya orang-orang di sekitar mereka. Mereka menghabiskan waktu berjalan-jalan sepanjang lahan pertanian seorang petani miskin. Setelah cukup lama mengelilingi lahan pertanian tersebut, mereka pun pulang. Dalam perjalanan pulang ke rumah, sang ayah bertanya kepada putranya: “Nak, apakah kau sudah melihat betapa miskinnya mereka? Pelajaran apa yang kau dapatkan dari perjalanan kita tadi?” Sang putra menjawab: “Ayah, kita mempunyai 1 ekor anjing di rumah, mereka mempunyai 4 …, kita memiliki kolam renang, mereka memiliki sungai …, kita mempunyai lentera atau lampu pada malam hari, mereka mempunyai bintang-bintang di langit …, kita selalu membeli makanan, mereka justru menanami berbagai tanaman untuk sumber makanan …, kita memiliki pagar dan tembok untuk melindungi kita, mereka justru memiliki banyak teman untuk bermain dengan bebas”. Kemudian, sang putra tadi menambahkan kepada ayahnya: “Terima kasih ayah untuk perjalanan kita hari ini, karena ayah telah menunjukkan kepada saya BETAPA MISKINNYA SEBENARNYA KITA”.
Untuk apa memiliki kekayaan seperti yang hendak ditunjukkan sang ayah tadi kepada putranya, tetapi hanya untuk diri sendiri dan untuk disombongkan, dan itulah kemiskinan yang dimaksud oleh sang putra kepada ayahnya, yaitu ketika kekayaan yang dimiliki, ketika keberhasilan yang sudah diraih tidak bisa dijadikan sebagai alat untuk berbuat baik bagi sesama. Kaya atau miskin, berprestasi atau tidak, … bukanlah persoalan; yang penting kita bisa mempergunakan apa yang telah diberikan oleh Tuhan pada kita untuk berbuat baik, kaya dalam kebajikan, suka memberi dan membagi terhadap sesama.
Kekayaan, harta atau uang yang banyak bukanlah segala-galanya dalam hidup ini; sebaliknya kemiskinan, atau hidup yang berkekurangan bukanlah akhir dari hidup ini. Kaya atau miskin, tergantung bagaimana kita menggunakan apa yang sudah dianugerahkan Tuhan bagi kita sebagai alat untuk berbuat kebaikan dan kebajikan di sekitar kita dengan hati nurani yang bersih. Semoga kita semakin kaya dalam kebaikan dan kebajikan. Amin.
(Pdt. Alokasih Gulo)

No comments:

Post a Comment