LIFE IS

All my yesterdays have brought me to this day, and all my tomorrows begin with now

Saturday, May 21, 2011

Indahnya Hidup Bersama dalam Kepelbagaian dan Kerukunan (Mazmur 133:1-3)

Mazmur/Sinunõ 133:1-3
133:1
Nyanyian ziarah Daud. Sungguh, alangkah baiknya dan indahnya, apabila saudara-saudara diam bersama dengan rukun!
Hiza wa’asõkhi, ba ha lõ omasiõ, na ha sara dõdõ moroi yomo zi fatalifusõ!
133:2
Seperti minyak yang baik di atas kepala meleleh ke janggut, yang meleleh ke janggut Harun dan ke leher jubahnya.
Simane fanikha samohua ba hõgõ, sowõi mitou ba mbu gambi, ba gambi ga’aroni andrõ, sowõi mitou, irugi gahe mbarunia.
133:3
Seperti embun gunung Hermon yang turun ke atas gunung-gunung Sion. Sebab ke sanalah TUHAN memerintahkan berkat, kehidupan untuk selama-lamanya.
Simane namo mbanua andrõ ba hili Heremono, sangele mitou; ba da’õ sa’ae i’fa’amõi howuhowu Yehowa, fangorifi sirugi si lõ aetu.


Pendahuluan
Kalau disuruh memilih, hidup rukun atau tidak rukun (harmonis atau tidak harmonis), saya pikir jarang ada orang, bahkan mungkin tidak ada yang memilih hidup tidak rukun atau tidak harmonis. Namun kenyataannya yang sering terjadi ialah hidup yang tidak/kurang rukun. Tidak rukun dengan mertua, dengan sesama saudara, dengan pasangan, dengan anak-anak, dengan tetangga, dengan rekan kerja, atasan-bawahan, antar etnis, antar gereja, antar pelayan, antar pejabat, kelompok dan golongan, antar bangsa, dsb. Mengapa bisa demikian? Banyak faktor yang menyebabkannya. Salah satu penyebab utama adalah karena kita kurang atau tidak mampu menghargai orang lain sebagaimana ia ada. Kita mau orang lain seperti yang kita mau/harapkan. Ketika itu tidak terjadi, apalagi ketika kita sudah berusaha mengubahnya dengan menasihati, membimbing atau mengarahkannya, dsb, namun juga tidak berubah, kekecewaan kita akan semakin dalam yang akhirnya mempengaruhi hubungan kita menjadi tidak harmonis. Hal yang lain karena sejak kecil, disadari atau tidak sudah ditanamkan bibit-bibit permusuhan. Misalnya bahwa orang Kristen itu kafir, atau Islam itu tidak baik karena itu tidak boleh bergaul atau melakukan pertemanan. Atau gereja itu tidak baik, gereja ini yang baik. Pengaruh doktrinasi seperti ini sangat mempangaruhi hubungan antara sesama manusia. Seperti seorang ahli taurat yang ingin mencobai Yesus dalam kisah “Orang Samaria yang baik hati” sebagaimana tertulis dalam Injil Lukas 10:26-29, ketika Yesus menganjurkannya untuk melakukan “mengasihi Allah dan sesama manusia, ia balik bertanya kepada Yesus “siapakah sesamaku manusia? Pertanyaan ini dilatarbelakangi karena menurut ajaran yang diterima sejak kecil bahwa sesama manusia itu hanyalah orang Yahudi/Israel, diluar komunitas tersebut bukan sesama manusia. Tidak demikian dengan seorang Samaria dalam cerita Yesus. Ketika ia melihat orang yang membutuhkan pertolongan segera ia bertindak menolong. “Belas kasihan” yang mengalir dalam hatinya mendorongnya menghargai orang yang “tersamun” tersebut sebagai sesama manusia. Tidak hanya merasa kasihan, tetapi melakukan tindakan konkret dengan memberikan pertolongan. Jadi hati yang masih dialiri rasa belas kasihanlah yang memungkinkan kita menghargai orang lain, mengasihi dan bertindak menjadi sesama bagi orang lain tanpa terkecuali.

Bagaimana supaya dalam hati kita senantiasa tergerak oleh belas kasihan, sehingga kita boleh hidup saling menghargai sebagai sesama ciptaan Tuhan? Bagaimana kita membebaskan diri dari pengaruh doktrin yang tidak pro-kemanusiaan dan mau membuka diri untuk kehidupan bersama yang manusiawi? Bagaimana supaya kita bisa hidup dalam kerukunan, saling menghargai, saling menopang, dan memiliki solidaritas yang tinggi seperti solidaritas Tuhan Yesus terhadap kita? Pemazmur mengajak kita untuk berefleksi sejenak tentang kenyataan bahwa kita ini hidup dalam konteks keberagaman sekaligus kebersamaan dengan orang lain.

Pendalaman Nas
Sesuai dengan tema Natal hari ini, dan sebagaimana teks yang telah kita bacakan tadi, ternyata teks ini sebenarnya merupakan suatu nyanyian ziarah. Nyanyian ziarah dari Daud ini menggambarkan situasi saat itu, di mana kebiasaan orang Israel yang berkumpul beramai-ramai membangun tenda untuk merayakan hari-hari perayaan tertentu. Nyanyian ziarah bukan berarti nyanyian ke kuburan tapi nyanyian arak-arakan karena bangsa Israel waktu itu merayakan hari-hari tertentu. Sungguh, alangkah baiknya dan indahnya itulah kata-kata pembukaan dimana Daud mau menggambarkan suasana umat dari berbagai penjuru Israel berkumpul di Yerusalem di dalam kerukunan, keakuran, keharmonisan, dan keguyuban. Dan ketika arak-arakan itu berlangsung, pemazmur melihat sesuatu yang sangat indah, sesuatu yang tak ternilai harganya, yang harum aromanya, yaitu hidup rukun satu dengan yang lain. Pemazmur meyakini bahwa dalam kerukunan itulah berkat-berkat mengalir luar biasa.

Pemazmur menggambarkan berkat-berkat kerukunan itu dalam dua gambaran.
 1) Yang pertama, “seperti minyak yang baik di atas kepala meleleh ke janggut, yang meleleh ke janggut Harun dan ke leher jubahnya”.
Minyak mempunyai makna kesukaan, keharuman, ketentraman, juga penyucian. Sehubungan dengan minyak pengurapan imam, kelimpahan minyak urapan menggambarkan bahwa Tuhan memberkati umat-Nya dengan berkelimpahan melalui persekutuan mereka. Ini adalah gambaran betapa harumnya dan bernilainya kerukunan atau kasih persaudaraan itu.
 2) Kedua, akibat atau dampak kesatuan/kerukunan itu digambarkan juga “seperti embun gunung Hermon yang turun ke atas gunung-gunung Sion”.
Kita tentunya tahu yang namanya embun. Embun dalam nas kita memberikan pemahaman utama sebagai kesegaran ilahi yakni karunia kehidupan yang berkemenangan. Embun menyimbolkan kesuburan dan pertumbuhan. Pengkaitan gunung Hermon yang terletak di Kerajaan Israel Utara dan gunung-gunung Sion di Kerajaan Israel Selatan (Yerusalem) memberi petunjuk bahwa:

a. Walaupun kerajaan Israel Utara dan Selatan mempunyai pemerintahan berbeda tetapi mereka adalah saudara yang seharusnya hidup rukun. Dan Allah akan memberikan berkat-Nya kepada umat-Nya apabila mereka hidup rukun, hidup dalam persatuan;

b. Walaupun secara geografis, kedua lokasi Gunung Hermon dan Sion tersebut jauh sekali, tapi adalah sebuah mukjizat jika embun dapat mengalir begitu jauhnya. Begitulah kasih dan kuasa Tuhan mengalir ke semua manusia, apalagi ke setiap anak-Nya yang hidup dalam persekutuan yang rukun. Sesungguhnya hidup dalam persekutuan yang rukun/harmonis sudah merupakan mukjizat anugerah ilahi dimana berkat pribadi saling dibagikan untuk keberuntungan bersama. Persekutuan demikianlah yang menyenangkan hati Tuhan sehingga Ia mencurahkan berkat-berkat-Nya atas mereka.

Kita diciptakan bukan supaya menjadi homo homini lupus, tetapi menjadi homo homini homo. Namun di era globalisasi ini yang sering terjadi ialah menjadi homo homini lupus, manusia serigala bagi sesamanya, i’a nawõnia niha. Nilai-nilai kebersamaan, kepekaan, solidaritas dan kekeluargaan yang dulu sangat kuat dalam kehidupan masyarakat kita secara perlahan tapi pasti, luntur, dan digantikan oleh nilai-nilai yang menekankan persaingan, individualisme, materialisme, bahkan hedonisme. Mengapa? Tidak lain karena natur keberdosaan kita membuat kesegambaran kita dengan Allah menjadi rusak sehingga peri-kemanusiaan kita tidak lagi tercermin dalam kehidupan kita sehari-hari, dan kita lebih mudah menerima nilai-nilai yang tidak berakar pada budaya kita dan tidak berakar pada Alkitab. Tampilan kehidupan yang demikian misalnya nampak ketika seseorang begitu takut, atau sungkan yang berlebihan, menjilat secara tidak tahu malu kepada mereka yang mempunyai kekuatan, kekuasaan, kekayaan yang jauh melebihi dirinya dan berlaku sombong, angkuh, memandang orang lain remeh/kecil dan bahkan menindas mereka yang lemah. Oleh karena itu agar peri-kemanusiaan kita yang lebih dominan (homo homini homo) maka kitaharus mau dipimpin oleh Roh Tuhan, kita mau hidup dalam persekutuan dengan Tuhan Yesus, bukan sekadar merayakan Natal karena tradisi atau sebagai perayaan ritual saja.

Melalui nas renungan kita tadi jelas bahwa Allah akan mencurahkan berkat-berkat-Nya kepada orang yang hidup dalam persekutuan yang rukun. Bagaimana supaya kita dapat hidup dalam persekutuan yang rukun? Apabila kita hidup saling menghargai bahkan dalam keberagaman. Benar! Kita seharusnya hidup saling menghargai. Walaupun kita berbeda-beda baik marga, asal daerah, kebiasaan adat, status sosial, berbeda aliran gereja, dll, yang pasti kita semua adalah sama-sama mahluk ciptaan Tuhan. Karena itu janganlah memperlakukan sesama kita dengan tidak manusiawi. Banyak orang sering memilih berseteru dengan sesama manusia hanya demi uang, kekayaan, tanah, harta milik, dsb.Bukankah sangat ironi jikalau gara-gara tanah atau harta atau bahkan karena berlainan agama/gereja, beda kelompok, beda pilihan pada pilkada, terpaksa saling menghujat, membunuh karakter seseorang dan bahkan menghilangkan nyawa sesama? Bukankah sangat menyedihkan kalau ada orang duduk bersama dalam satu gereja, atau dalam satu tempat ibadah, atau bekerja dalam satu instansi, tetapi memiliki jarak yang sangat jauh dalam roh? Bukankah sangat menyedihkan apabila antara atasan-bawahan terjadi ketegangan, intimidasi, ketakutan, dlsbg? Dalam keluarga kita apakah kita lebih menghargai anggota keluarga kita lebih dari uang, jabatan, popularitas, hobi? Apakah kita lebih banyak meluangkan waktu untuk suami/istri, anak-anak, orang tua atau justru menghabiskan waktu berjam-jam nonton TV, memelihara hewan kesukaan kita atau hal-hal yang sebenarnya tidak penting? Marilah kita lebih menghargai sesama kita manusia, terutama mereka yang ada di dekat kita sebagaimana Tuhan sudah menghargai kita dengan menebus kita melalui kedatangan-Nya di dunia ini, lahir dalam kesederhanaan bahkan dalam kemiskinan.

Belakangan ini kehidupan masyarakat tidak lagi diwarnai sikap saling menghormati dan saling menghargai. Sebaliknya, sikap saling curiga dan saling memfitnah semakin bertumbuh subur. Kehidupan semacam ini tidak saja menghancurkan persatuan dan kesatuan, tetapi juga semakin menjauhkan berkat Tuhan dalam kehidupan umat. Dimanakah kerukunan dalam kehidupan persekutuan itu ditempatkan? Tempat yang seharusnya bagi kerukunan umat adalah misalnya di dalam lingkup keluarga, gereja (antardenominasi dan dalam denominasi), masyarakat (antarras, suku, dan agama). Bila dalam hal yang disebutkan ini kerukunan sama sekali tidak mendapat tempat, kehidupan keluarga, gereja, dan masyarakat jauh dari jamahan anugerah Allah.

Tuhan Yesus lahir dan datang ke dunia untuk mempersatukan, untuk menunjukkan bahwa Allah sangat solider kepada kita. Dan kerinduan-Nya bagi kita adalah hidup bersama dalam kerukunan dan kedamaian, sekali pun ada banyak perbedaan di antara kita. Bagi Allah, bagi Yesus yang lahir, dan bagi kita, hidup rukun dan damai adalah suatu kehidupan yang sangat baik dan indah, sangat harum dan menyegarkan, tak ternilai dan menghidupkan.

Perbedaan dalam Tulang (Penutup)
            Anthony de Mello dalam bukunya “Doa Sang Katak 2” dengan sangat mengesankan mencatat metafora dan makna yang terkandung di dalamnya.
            Plutarkus menceritakan kisah Aleksander Agung yang berjumpa dengan filsuf Diogenes yang sedang memperhatikan setumpuk tulang manusia.
            “Apa yang kau amati?”, tanya Aleksander.
            “Sesuatu yang tidak dapat saya temukan”, jawab filsuf itu.
            “Apa itu?”, Aleksander kembali bertanya.
            “Perbedaan antara tulang ayahmu dan tulang budak-budaknya”, jawab filsuf.
            Hal-hal ini sama tidak terbedakannya: tulang Islam-Kristen, tulang Katolik-Protestan, tulang Lutheran-Calvinis, tulang gereja arus utama-gereja pantekosta, tulang pimpinan-bawahan, tulang laki-laki dan perempuan, tulang pejabat-masyarakat biasa, tulang rohaniawan-jemaat/umat, tulang marga Ndruru-Waruwu; tulang orang kaya-orang miskin, tulang orang besar-orang kecil.
            Daftar ini masih bisa diperpanjang lagi sesuai kebutuhan dan konteks kita.
            Orang-orang yang menerima penerangan batin, yang memaknai Natal dengan tepat, tidak melihat dan mempersoalkan perbedaannya, bahkan kalau pun tulang-tulang itu ada dagingnya. Persoalannya ialah bahwa kebutaan batin kita sering membuat kita lebih menyoroti perbedaan-perbedaan yang ada untuk menunjukkan superioritas masing-masing.

Orang yang merayakan Natal dengan makna yang benar adalah orang yang mau dan mampu menerima kepelbagaian sebagai bagian dari kehidupannya, mau dan mampu hidup bersama dalam kepelbagaian itu, serta mau dan mampu hidup rukun dengan yang lain dengan penuh kedamaian.

(Pdt. Alokasih Gulo)

No comments:

Post a Comment